Batman Begins - Help Select TUGAS KAMPUS: Desember 2011

Kamis, 22 Desember 2011


TULISAN 3


FUNGSI KELUARGA DALAM KEHIDUPAN INDIVIDU
Keluarga adalah unit/satuan masyarakat yang terkecil dan sekaligus merupakan suatu kelompok kecil dalam masyarakat. Kelompok ini, dalam hubungannya dalam individu, sering dikenal dengan sebutan primary group. Kelompok inilah yang melahirkan individu dengan berbagai macam bentuk kepribadian dalam masyarakat. Banyak hal yang mengenai kepribadian yang dapat dirunut dari keluarga, yang pada saat sekarang ini sering dilupaka orang. Perkembangan intelektual akan kesadaran lingkungan seoarang individu seringkali dilepaskan dan bahkan dipisahkan dengan masalah keluarga. Hal semacam inilah yang sering menimbulakan masalah sosial, diakarenakan kehilangan pijakan. Keluaraga sering sekali kehilangan pijakannya, oleh karena itu kebujakan kalau dilihat dan dikembalikan peranan keluarga dan proposisi yang sebenarnya dengan skala prioritas yang pas.
Keluarga pada umumnya yang diketahui terdiri dari suami dan individu lainnya adalah isrti yang selalu berusaha menjaga rasa aman dan ketentraman ketika dalam menghadapi suka dan duka hidup dalam eratnya arti ikatan luhur hidup bersama.
Keluarga biasanya terdiri dari suami, isrti dan anak-anaknya. Anak-anak inilah yang nantinya akan berkembang dan mulai bisa melihat atau mengenal arti diri sendiri, dan kemudian belajar melalui pengalaman itu. Apa yang talah dilihatnya itu akan menjadi pengalaman individualnyaindividu pada tahap selanjutnya mulai dirasan bahwa telah ada individu-individu lainnya yang berhubungan secara fungsional. Individu-individu tersebut adalah keluarga yang memelihara cara pandang dan cara menghadapi masalah-masalahnya, membinanya dengan cara menelusuri dan meramalkan hari esok, mempersiapkan pendidikan, keterampilan dan budi pekertinya.
Keluarga sebagai kelompok pertama yang dikenal individu sangat berpengaruh secara langsung terhadap perkembangan individu sebelum maupun sesudah terjun langsung secara individual di masyarakat.

A.     PENGERTIAN FUNGSI KELUARGA

Dalam kehidupan keluarga sering kita jumpai adanya pekerjaan-pekerjaan yang
harus dilakukan. Suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan itu biasanya disubut dengan fungsi. Fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan-pekerjaan atau tuga-tugas yang harus dilaksanakan dilam atau oleh keluarga itu.

  1. MACAM-MACAM FUNGSI KELUARGA

Pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan oleh keluarga itu dapat digolongkan/dirinci kedalam beberapa fungsi, yaitu :
  1. Fungsi Biologis
  2. Fungsi Pemeliharaan
  3. Fungsi Ekonomi
  4. Fungsi Keagamaan
  5. Fungui Sosial


  1. Fungsi Biologi
Dengan fungsi ini diharapkan agar keluaraga yang menyelengarakan persiapan-persiapan perkawinan bagi anaknya. Karena dengan perkawinan akan terjadi proses kelangsungan keturunan. Dan setiap manusia pada hakekatnya terdapat semacam turunan biologis bagi kelangsungan hidup keturunannya, yang melalui perkawinan.
Persiapan perkaeinan itu harus di persiapkan oleh orang-orang tua bagi anank-anaknya dapat berbentuk anatara lain pengetahuan tentang kehidupa sex bagi suami istri, pengetahuan untuk mengatur rumah tangga bagi sang istri, tugas dan kewajiban bagi suami agar memelihara pendidikan bagia anak-anaknya dan lain-lain. Sehingga tepat pada waktunya ia sudah matang untuk menerima hal baru dalam mengurangi hidup untuk rumah tangganya.
Dengan persiapan yang cukup matang ini maka dapat mewujudkan suatu bentuk kehidupan rumah tangga yang baik dan harmonis. Kebaikan rumah tangga ini dapat membawa pengaruh yang baik pula bagi kehidupan bermasyarakat.

  1. Fungsi Pemeliharaan
Keluarga diwajibkan untuk berusaha agar setiap anggotanya dapat terlindung dari gangguan-gangguan sebagai berikut.
  1. gangguan udara dengan berusaha untuk menyediakan rumah untuk keluarganya.
  2. gengguan penyakit dengan berusaha untuk menyiapkan obat-obatan.
  3. gangguan bahaya dengan berusaha untuk menyiapkan senjata, pagar, tembok, dan lain-lain.

Bila dalam keluarga fungsi ini telah dijalankan dengan sebaik-baiknya sudah barang tentu akan membantu terpeliharanya keamanan dalam masyarakat. Sehingga terwujud suatu masyarakat yang terlepad dan terhindar dari segala gangguan apapun yang akan terjadi.

  1. Fungsi Ekonomi
Keluarga berusaha menyediakan kebutuhan rumah tangga yang pokok yaitu :
  1. kebutuhan makan dan minum
  2. kebutuha pakaian untuk menutupi tubuhnya
  3. kebutuhan tempat tinggal.

  1. Fungsi keagamaan
Di Negara Indonesia yang berideologi Pancasila berkewajiban pada setiap warganya untuk menghayati, mendalami dan mengamalkan Pancasila di dalam perilaku dan kehidupan keluarganya sehingga benar-benar diamalkan P4 ini dalam kehidupan keluarga.
Dengan dasar pedoman ini keluarga diwajibkan untuk menjalani dan mendalami serta mengamalkan ajaran-ajaran agama dalam perilakunya sebagai manusia yang bertqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian akan tercermin bentuk masyarakat yang apabila semua keluarga melaksanakan P4 dan fungsi dari keluarga itu.


  1. Fungsi Sosial
Dengan fungsi ini keluarga berusaha untuk mempersiapkan anak-anaknya bekal-bekal selengkapnya dengan memperkenalkan nilai-nilai dan sikap-sikap yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan-peranan yang diharapkan yang akan mereka jalankan kelak bila sudah dewasa nanti.
Dengan fungsi ini diharapkan agar di dalam keluarga selalu terjadi pewarisan kebudayaan. Kebudayaan yang diwariskan itu adalah kebudayaan yang telah dimiliki oleh generasi tua yaitu ayah dan ibu, diwariskan ke pada anak-anaknya dalam bentuk antara lain sopan santun, bahasa, cara bertingkah laku, ukuran tentang baik buruknya perbuatan dan lain-lain.
Dengan melalui nasehat dan larangan, orang tua menyampaikan noram hidup tertentu dalam berprilaku.


 sebagian dari : e-book


TULISAN 2



PEMUDA DAN IDENTITAS
Pemuda adalah suatu generasi yang di pundaknya di bebani berbagai macam-macam harapan, terutama dari generasi lainya. Hal ini dapat dimengerti karena pemuda di harapkan sebagai denerasi penerus, generasi yang akan melanjutkan perjuangan generasi sebelumnya, generasi yang harus mengisi dan melangsungkan estafet pembangunan secara terus menerus.
Lebih menarik lagi pada generasi muda ini mempunyai permasalaha-pemasalahan yang sangat berfariasi, di mana jika permasalahan ini tidak dapat diatasi secara professional maka pemuda akan kehilangan fungsinya sebagai penerus pembangunan. Disamping itu dalam menghadapi permasalahan,pemuda memiliki potensi-potensi yang melekat pada dirinya dan sangat penting yang artinya sebagai sumber daya manusia. Oleh karena itu berbagai potensi positif yamg dimiliki generasi muda itu harus di garap, dalam arti pengembangan dan pembinaannya harus di sesuai dengan asas, arah, dan tujuan pengembangan. Dan pembinaan generasi muda di dalam jalur-jalur pembinaan yang tepat serta senantiasa bertumpu pada strategi pencapaian tujuan nasional.
Proses sosialisasi generasi muda adalah suatu proses yang sangat menentukan kemampuan diri pemuda untuk menselaraskan diri dari tangah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, pada tahap pengembangan dan pembinaannya, melalui proses kematangan dirinya dan belajar padaberbagai media sosialisasi yang ada di masyarakat, seorang pemuda harus mampu menseleksi berbagai kemungkinan yang ada sehingga mampu mengendalikan diri dalam hidupnya di tengah-tengah masyarakat.

Ada berbagai permasalahan generasi muda yang muncul pada saat ini, anatara lain :
  1.  Menurunya rasa idealisme, patriotisme dan nasionalisme di kalangan masyarakat termasuk generasi muda.
  2. Kekurang pastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya.
  3. Belum seimbangnya antara generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang tersedia, baik formal maupun non formal.
  4. Kurangnya lapangan kerja/kesempatan kerja serta tingginya tingkat penganguran/setengah penganguran di kalangan generasi muda dan mengakibatkan berkurangnya produktivitas nasional dan memperlambat kecepatan laju perkembangan pembangunan nasional serta dapat menimbulkan berbagai problem sosialnya.

Potensi-potensi yang terdapat pada generasi muda yang perlu dikembangkan adalah :
  1. Idealisme dan daya kritis
  2. Dinamika dan kreatifitas
  3. Keberanian mengambil resiko
  4. optimis dan kegairahan semangat
  5. Sikap kemandirian disiplin murni
  6. Terdidik
  7. Keanekaragaman dalam persatuan dan kesatuan
  8. Patriotisme dan Nasionalisme
  9. Sikap kesatria
  10. Kemampuan penguasaan ilmu dan teknologi.

Setiap individu dalam masyarakat yang berada mengalami proses sosialisasi yang berbeda pula, karena proses sosialisasinya banyak ditentukan oleh susunan kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Oleh karena itu proses sosialisasi melahirkan kedirian dan kepribadian seseorang terhadap diri sendiri dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya.

sumber : sebagian dari e-book

TULISAN 1

PERBEDAAN MASYARAKAT DESA DAN MASYARAKAT PERKOTAAN
Masyarakat pedesaan kehidupannya sangat berbeda dengan kehidupan masyarakat perkotaan. Perbedaan-perbedaan ini dari adanya perbedaan yang mendasar dari keadaan lingkungan, yang mengakibatkan adanya dampak terhadap personalitas dan segi-segi kehidupan.kesan popular masyarakat perkotaan terhadap masyarakat pedesaan adalah bodoh, lambat dalam berpikir dan bertindak, serta mudah tertipu dan lainya. Kesan ini disebabkan masyarakat perkotaan mengamatinya hanya sepintas, tidak banyak tahu, dan kurang pengalaman dalam lingkungan pedesaan. Masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan memiliki cirri-ciri tersendiri. Mengenal ciri-ciri masyarakat pedesaan akan lebih mudah dan lebih baik dengan membandingkannya dengan kehidupa masyarakat perkotaan.
Dalam memahami masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, tentu kita tidak akan mendefinisikanya secara universal dan objektif, tetapi harus berpatokan pada cirri-ciri masyarakat itu sendiri. Ciri-ciri itu karena adanya sebagian orang , yang tinggal di suatu daerah tetentu, dan adanya sistem hubunga, ikatan atas dasar kepentingan bersama, tujuan dan bekerja sama, ikatan atas dasar unsur-unsur sebelumnya, rasa solidaritas, sadar akan adanya interdependensi, adanya norma-norma dan kebudayaan.
Masyarakat kota di tekankan dari pengertian kotanya dengan ciri dan sifat kehidupannya dan keikhlasan dalam interes hidupnya. Dalam masyarakat kata kebutuhan primer di hubungkan dengan status sosial dan gaya hidup masa kini sebagai manusia modern. Desa dalam hakekatnya bukan sebuah istilah yang menunjukan benda “tunggal”, tetapi “desa” mempunyai unsure-unsur yang kemudian dirakit sedemikian rupa, dan akan berbentuk desa. Setip unsure dalam suatu system itu dapat diperlakukan sebagai satu kesatuan yang utuh.
Masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan masing-masing dapat diperlakukan sebagai system jaringan hubungan yang kekal dan penting, serta dapat pula di bedakan masyarakat yang bersangkutan dengan masyarakat yang lain. Oleh karena itu , mempelajari suatu masyarakat berarti dapat berbicara soal struktur sosial . untuk menjelaskan pebedaan atau ciri-ciri dari kedua masyarakat tersebut, dapat di telusuri dalam hal lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran komunitas, kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenitas, diferensiasi sosial mobilitas sosial, interaksi sosial, pengandaian sosial, pola kepemimpinan, ukuran kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau system lainnya.
Dalam lingkungan masyarakat pedesaan berhubungan kuat dengan alam, karena disebabkan oleh lokasinya berada di daerah desa. Mereka sulit mengontrol kenyataan alam yang sering dihadapinya, padahal bagi sumua petani realitas ala mini sangat vital dalam menunjang kehidupannya. Semua penduduk yang tinggal di desa akan banyak ditentukan oleh kepercayaan-kepercayaan dan hukum-hukum alam, seperti dalam pola berfikir dan falsafah kehidupannya. Tentu akan sangat berbeda dengan masyarakat yang hidup atau tinggal di perkotaan, yang kehidupannya bebas dari realitas alam, misalnya dalam bercocok tanam dan menuai harus pada waktunya sehingga ada kecenderungan. Pada dasarnya mata pencaharian juga menentukan relasi dan reaksi sosial.
Pada umumnya kebanyakan mata pencaharian masyarakar desa adalah bertani, tetapi mata pencaharian berdagang, pekerjaan sekunder dari pekerjaan ninpertanian. Sebab di beberapa daerah pertanian tidak lepas dari kegiatan usaha atau industri demikian pula mata pencaharian keluarga untuk tujuan hidupnya agar lebih luas lagi. Di masyarakat perkotaan mata pencaharian cenderung menjajadi terspesialisasi dan spesialisasi itu sendiri dapat dikembangkan, mungkin menjadi manager di suatu perusahaan, ketua atau pemimpin dalam suatu birokrasi.
Komunutas pedesaan biasanya lebih kecil dari komunitas perkotaan. Dalam mata pencaharian di nidang pertanian, imbangan tanah dengan manusia cukup tinggi bila dibandingkan dengan industri, dan akibatnya daerah pedesaan mempunyai penduduk yang rendah per-kilometer perseginya. Tanah pertanian luasnya berfaiasi, bergntung kepada tipe usaha bertaninya, tanah ang cukup luas sanggup menampung usaha tani dan usaha ternak sesuai dengan kemampuaannya. Oleh sebab itu komunitas perdesaan lebih kecil dari pada komunitas perkotaan.
Penduduk desa lebih rendah kepadatannya bila dibandingkan dengan kepadatan penduduk di kota, kepadatan penduduk suatu komunitas kenaikannya berhubungan dengan klasifikasi dari kota itu sendiri.contohnya terjadi perubahan-perubahan terhdap pemukiman dari satu penghuni keluarga yang menjadi pembangun multikeluarga dengan flat dan apartemen seperti yang terjadi di kota-kota besar.

Kelas sosial dalam masyarakat sering terlihat dalam perwujudannya seperti ”piramida sosial”, yaitu kelas-kelas yang tinggi berada pada posisi atas piramida, kelas menengah ada di antara kedua tingkat kelas ekstrem dari masyarakat.
Ada beberapa perbedaan “pelapisan sosial tidak resmi” ini antara masyarakat desa dengan masyarakat kota :
  1. Pada masyarakat kota aspek kehidupan pekerjaan, ekonomi, atau sosial politik lebih banyak system pelapisannya dibandingkan dengan di desa.
  2. Pada masyarakat dessa kesengajaan antara kelas ekstrem dalam piramida sosial tidak terlalu besar, sedangkan pada masyarakat kota jarak antara kelas ekstremyang kaya dan miskin cukup besar. Di daerah pedesaan tingkat kekayaanya hanya kaya dan miskin saja.
  3. Pada umumnya masyarakat pedesaan cenderung berada pada kelas menengah menurut ukuran desa, sebab orang kaya dan orang miskin sering bergeser ke kota, atau ikut transmigrasi.

Terjadinya periswa mobilitas sosial demikian di sebabkan oleh penduduk kota yang
heterogen, terkonsentrasinya kelembagaan-kelembagaan, saling tergantungnya organisasi-organisasi, dan tingginya diferensi sosial. Demikian pula di kota, mobilitas sering terjadi ddi kota dibandingkan di desa. Segi-segi penting dari mobilitas tersebut adalah :
  1. Banyak penduduk yang berpindah rumah ke rumah yang lain, karena system kontrak yang terdapat di kota dan di desa tidak demikian
  2. Waktu yang tersedia bagi penduduk kota untuk berpergian persatuan penduduk lebih banyak dibandingkan dengan orang-orang desa.
  3. Berpergian setiap hari di dalam atau di luar dari pusat penduduk, di daerah kota lebih besar di bandingkan di daerah perdesaan.
  4. Waktu luang di kota lebih sedikit di bandingkan dengan di daerah pedesaan, sebab mobilitas penduduk kota lebh tinggi.

Hal lain, mobilitas atau perpindahan penduduk dari desa ke kota lebih banyak ketimbang dari kota ke desa. Tipe desa pertanian dan kebiasaan pindah dapat mempengaruhi mobilitas sosial, seperti perpindahan yang berkaitan dengan pencarian kerja dan ada yang menetap atau tinggal sementara, sesuai dengan musim dan waktu pengolahan pertanian. Apabila kita bandingkan dengan penduduk kota yang lebih dinamis dan mobilitasnya cukup tinggi. Semuanya berada di dalam hal waktu dan arah mobilitasnya, pergerakannya dapat terjadi secara bertahap, baik arahnya secara horizontal maupun vertical. Sedangkan kebiasaan ini di desa kurang terlhat, dan di kota lebih memungkinkan dengan waktu yang relative singkat.

sumber : sebagian dari  e-book

TUGAS 3
Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan lingkunga yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perbedaan utama dalam perspektif peilaku meletakan struktur sosial (makro) sebagai perilaku sosial individu, sedangkan sebagian lebih memandang individu (mikro) merpakan agen yang aktif dalam membentuk perilaku sendiri.

Coba anda buat beberapa contoh perilaku dalam struktur makro dan mikro, baik peran anda dalam masyarakat atau berdasarkan pengamatan yang ada disekitar lingkungan kehidupan.

Yang dimaksud dengan perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada pendekatan psikologi sosial.
Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : " Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.

1.      Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
      Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian  dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat "mistik", "mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)". Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
      Para "behaviorist" memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan "tanggapan" (responses), dan lingkungan  ke dalam unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah rangsangan " seorang teman datang ", lalu memunculkan tanggapan misalnya, "tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak hitam (black-box)" . Rangsangan masuk ke sebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam  tadi - srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
     Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement". Yang dimaksud dengan "operant condition" adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior". Yang dimaksud dengan "reinforcement" adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
      Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).

a.      Teori Pembelajaran Sosial.
      Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard - dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita  belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning " - "pembelajaran sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
      Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat.  Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena  kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
     Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
       Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka  teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.

b.      Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
      Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial,  teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya  pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku  di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
     Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya "Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :"Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ". Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : "Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali". Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah "distributive justice" - aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi " seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya - dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan".
      Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial  adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.

2.      Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
     Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem - karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
     Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif .
     Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah  Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi Kontemporer.

a.      Teori Medan (Field Theory)
      Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang kehidupan" - life space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan "ruang kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu situasi tertentu.
       Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks - lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya,  kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada.

b.      Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution Theory)
      Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
     Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam kerangka "sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokannya  dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi. 

c.       Teori Kognitif Kontemporer
      Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah "kognisi" digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang diberi istilah "schema" (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan  pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
       Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan eksternal belum mencukupi. 

3.      Perspektif Struktural
      Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai  sesuatu proses yang (1) instinktif,  (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas "diri" (self) - perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.
       Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu  ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)

a.      Teori Peran (Role Theory)
      Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan  Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
      Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.

b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
     Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
      Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut  ( jenis kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.

c. Posmodernisme (Postmodernism)
    Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
     Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
     Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia  terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja.  Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
      Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural  dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.

4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)
    Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
      Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).

a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
     Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
      Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
     Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
    Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.

b. Teori Identitas (Identity Theory)
     Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara  individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
     Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh  Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
      Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.

RANGKUMAN
      Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental (pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang psikologi.
     Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro) sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya sendiri.
      Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi pertukaran sosial  bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat pada posisi sosialnya harus dipenuhi.
     Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.

diambil dari : http://www.google.co.id/search?q=perbedaan+perspektif+perilku+makro+dan+mikro&ie=utf-8&oe=utf-8&aq=t&rls=org.mozilla:en-US:official&client=firefox-a


TUGAS 2

Dalam kehidupan kita kenal ada karakter dari lingkungan yang dimiliki oleh manusia , yaitu individu, keluarga, masyarakat.
Berikanlah sebuah pemahaman dari tiga tipe pola kehidupan dan jelaskan pula contoh-contoh dari masing-masing kehidupan tersebut.

Individu
Manusia itu adalah makhluk individu. Makhluk individu berarti makhluk yang
tidak dapat dibagi-bagi, dan tidak dapat dipisahkan antara jiwa dan raganya.
Contoh :
Manusia sebagai makhluk individu mengalami kegembiraan atau kekecewaan akan terpaut dengan jiwa dan raganya, tidak hanya dengan mata, telinga, hidung, tangan, dan perasaan saja. Dalam kegembiraannya manusia dapat mengagumi dan merasakan keindahan , mengapa demikian ? karena manusia mempunyai rasa kendahan, rasa estetis dalam individunya. Suatu keindahan yang ia kagumi dan ia nikmati melalui indera mata dan indera perasaan yang menyatu menjadi satu kesatuan.
            Tetapi ada yang berpendapat lan tentang makhluk individu, tidak hanya dalam arti makhluk keseluruhan jiwa raga, melainkan juga dalam arti bahwa tiap-tiap orang mempunyai kepribadian sendri yang artinya mempunyai perilaku sendiri-sendiri. Untuk men jadi makhlk individu yang mandiri harus melalui proses, proses yang harus dilaluinya adalah proses pemantapan dalam bergaul di lingkungan keluarga, ini dapat terbentuk dari dalam lingkungan keluarga secara bertahap dan akan tetap melalui sentuhan-sentuhan intraksi seperti : etika, estetika, dan moral agama.

Keluarga
Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting di dalam masyarakat dan kehidupan. Keluarga merupakan bagian dari grub yang terbentuk dari pria dan wanita, yang mana banyak berlangsung lama untuk menciptakan anak dan membesarkannya. Jadi keluarga dalam bentuk yang murni merupakan suatu kesatuan sosial, ini mempunyai sifat-sifat yang tertentu yang sama, dimana dalam suatu masyarakat.
Contoh :
- Ada 5 macam sifat yang terpenting, yaitu :
  1. Hubungan Suami-Istri ;
Hubungan ini mungkin berlangsung seumur hidup dan mungkin dalam waktu yang singkat saja. Ada yang berbentuk monogamy, dan ada juga yang poligami. Bahkan banyak masyarakat sederhana terdapat “group married”, yaitu sekelompok wanita menikah dengan sekelompok pria.
  1. Bentuk pernikahan di mana antara suami-istri itu diadakan dan dipelihara ;
Dalam pemilihan jodoh atau pasangan dapat kita lihat bahwa calon suami-istri itu dipilihkan oleh orang tua mereka. Sedangkan masyarakat yang lainnya diserahkan pada orang yang bersangkutan, ada juga pernikahan yang berbentuk indogami yakni menikah di dalam golongan sendiri, ada pula yang bentuk exogami yaitu menikan diluar golongan sendiri.
  1. Susunan nama-nama dan istilah-istilah termasuk cara menghitung keturunan ;
Banyak masyarakat menghitung keturunan dari garis laki-laki.
Misalnya di batak ; ini disebut Partrilineal.
Sedangkan yang melalui garis wanita,
Misalnya minangkabau ; ini disebut Matrilineal, dimana kekuasaan pada saat itu terletak pada wanita. Di minangkabau wanita tidak mempunyai hak apa-apa, bahkan hartanya tidak di urusi oleh dirinya sendiri melainkan di urus oleh adik atau saudara perempuannya.
system in disebut dengan Avonculat
  1. Milik atau harta benda keluarga  ;
Di manapun keluarga mempunyai milik untuk kelangsungan hidup para anggota-anggotanya.
  1. Pada umumnya keluarga itu tempat bersama atau rumah bersama.

Masyarakat
Seperti halnya dengan definisi sosiologi yang banyak jumlahnya kita dapati juga definisi-definisi tentang masyarakat yang juga tidaj sedikit. Definisinya adalah sekedar alat ringkat untuk memberikan batasan-batasan mengenai suatu persoalan atau pengertian yang ditijau dari pada analisa. Analisa inilah yang memberikan arti yang jernih atau bersih dan kokoh dari suatu pengertian.
Manusia sebagai makhluk sosial manapun tersusun dalam kelompok-kelompok. Fakta ini menunjukan bahwa manusia mempunyai sosial akan pembawaan kemasyarakatan seperti hasrat bergaul.
Contoh ;
Sesorang anak kecil yang sedang bermain dengan teman-temannya.
Contoh ini menunjukan bahwa manusia makhluk sosial dan tidak bisa hidup sendiri.

sumber : sebagian dari e-book