TUGAS 3
Gambaran Keadilan Hukum di Indonesia
Rasa
keadilan itu setiap saat ditunggu-tunggu oleh semua orang. Adil dianggap indah.
Semua
membutuhkannya. Semua orang juga mau diajak untuk memperjuangkannya.
Orang juga
mau mengorban apa saja yang dimiliki untuk memperjuangkan keadilan.
Keadilan
sepertinya menjadi sesuatu yang mahal, jarang terjadi, dan juga sulit
diwujudkan.
Tidak
terkecuali adil dalam hukum. Selama ini hukum hanya berprinsip teguh terhadap
keadilan yang sifatnya procedural bukan keadilan substansial. Dalam hal ini,
keadilan prosedural merupakan keadilan yang mengacu pada bunyi undang-undang
an-sich. Sepanjang bunyi UU terwujud, tercapailah keadilan secara formal!
Apakah secara materiil keadilan itu benar-benar dirasakan adil secara moral dan
kebajikan (virtue) bagi banyak pihak? Para penegak keadilan prosedural tidak
memedulikannya. Mereka, para penegak keadilan prosedural itu, biasanya tergolong
kaum positivistik dan tidak melihat betapa masyarakat tidak merasakan keadilan
yang sejatinya hukum merupakan sarana mewujudkan keadilan yang tidak sekedar
formalitas.
Di
tengah-tengah konflik antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan, pasti semua pihak
membutuhkan penyelesaian secara adil. Tidak ada pihak yang mau diberlakukan
secara tidak adil. Keinginan itu tidak saja datang dari mereka yang terlibat
langsung, bahkan masyarakat yang sebatas menyaksikannya pun juga ingin melihat
keadilan itu. Tetapi ternyata tidak mudah itu semua dipenuhi, sekalipun mereka
yang sedang bermasalah itu sehari-hari sesungguhnya adalah penjaga keadilan.
Banyak
kasus-kasus putusan hakim yang tidak mencerminkan substansi keadilan hukum
dimana beberapa dekade balakangan ini mewarnai media pewartaan nasional.
Semisal kasus Ibu Minah dengan Semangkanya, atau kasus Prita—walaupun sudah
dibebaskan dari gugatan—serta kasus-kasus lainnnya. Bagi kaum positivistik,
keputusan-keputusan hukum dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan
yang sudah ada lebih dahulu tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial,
kebajikan, serta moralitas. Betapa pun tidak adil dan terbatasnya bunyi
undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan dari situ
kepastian hukum bisa ditegakkan.
Ironisnya,
seringkali keadilan hukum Indonesia cenderung milik para penguasa, minimal
orang kuat. Sehingga jargon masyarakat terhadap hukum di Indosian memang benar
adanya bahwa hukum akan kuat ketika melawan orang lemah, akan tetapi ia akan
lemah ketika berhadapan dengan orang kuat (ex; orang kaya-penguasa). Atau
bahkan sekedar menjadi mainan para penegak hukum itu sendiri.
Salah satu
masalah yang dihadapi bangsa ini adalah tidak adanya kepastian hukum. Belum
terciptanya law enforcement di negeri ini terpotret secara nyata dalam lembaga
peradilan. Media masa bercerita banyak tentang hal ini, mulai dari mafia
peradilan, suap ke hakim, pengacara tidak bermoral sampai hukum yang berpihak
pada kalangan tertentu.
Direktur
Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis
(HuMa), menyatakan ada tujuh faktor utama yang menyebabkan stagnasi hukum di
Indonesia :
1. Pertama,
politik dan arah pembaruan hukum yang elitis.
2. Kualitas
legislasi nasional dan daerah yang rendah.
3. Penegakan
hukum yang sarat korupsi dan melahirkan mafia hukum.
4. Lembaga
peradilan tidak mewujud menjadi agen dan ujung tombak pembaharuan hukum.
5. Mahkamah
Konstitusi sebagai The Guardian of the Constitution lebih banyak dimanfaatkan
oleh kelompok elit.
6. Pendidikan
hukum yang bergeser orientasinya menjadi pelayan pasar.
7. Ketidakmampuan
institusi hukum dan pemerintah menyelesaikan konflik yang melibatkan rakyat
banyak dan miskin dengan cara-cara yang memenuhi rasa keadilan rakyat,
Akhirnya
kita berharap hokum di Indonesia semakin mendekati keadilan. Tuhan melalui
kitab suci, memerintahkan kepada siapapun, untuk selalu berlaku adil dan
berbuat baik.
sumber : http://hukum.kompasiana.com/2012/03/14/menilai-keadilan-hukum-di-indonesia/